Rabu, 23 Oktober 2013

Buah Hati





Kolom
Buah Hati
 

 Akibat Terlalu Berlebihan

Oleh: Kak Novianti


      Selalu saja kebiasaan buruk Didit muncul tiap kali kemanapun dia pergi. Ya, Didit punya kebiasaan mengambil makanan berlebihan. Sebenarnya bukan karena makanan yang disajikan terlalu enak. Itu hanya kebiasaan. Didit inginnya selalu mengambil banyak. Kalau makan nasi, maka piringnya akan penuh dengan lauk. Kalau ada kue dan buah, maka tangannya akan berusaha meggenggam sebanyak mungkin sampai tidak muat.
      Malam itu misalnya, Didit diajak Ummi ke acara ulang tahun anak temannya. Didit malam itu datang bersama Ira adiknya yang masih kelas empat SD. Didit sendiri sekarang sudah kelas satu SMP. Setelah melewati acara ulang tahun berupa game dan permainan, maka sampailah pada acara makan bersama. Tuan rumah menyajikan panganan yang lumayan banyak. Segala aneka makan dan minum ada di sana.  Didit tentu saja menjadi liar matanya melihat itu semua. Dalam hatinya Didit tidak sabar melihat semua makan dan minum itu. Didit menelan air liurnya memandang makan dan minum yang super lezat itu.
      Acara makan pun dimulai. Dengan penuh semangat Didit mulai memandang semua makanan. Didit bingung harus mulai dari makanan yang harus ia ambil. Didit melihat pula kea rah minuman, juga tersedia bermacam juice penuh selera. Lama sekali Didit tertegun.
      “Eh…kakak kok diam saja? Cepat diambil makanannya!” Tiba-tiba Ira mengejutkan Didit yang sedang kebingungan.
      “Mhh..ya…ya. Sebentar Ira, kakak lagi bingung!”
      “Iih…bingung kenapa sih?”
      “Makanannya enak semua, he..he…” Didit tertawa.
      “Ih, kakak. Udah cepatlah!”
      “Iya…iya!” Didit  mulai melihat makanan itu. Sekali lagi Didit kebinungan. Tapi Didit tidak mau lama-lama lagi. Didit pun mulai mengambil nasi dan memasukkannya ke piring. Nasi yang diambilnya lumayan banyak. Didit takut betul kalau nanti nasi itu akan habis kalau tidak diambil segera. Kemudian Didit mengambil ayam goreng dua potong. Daging bumbu merica juga tidak ketinggalan. Udang goreng, ikan kakap manis, sosis, dan gulai kari tidak pula ketinggalan. Semua yang diambil pun lebih dari satu porsi pula. Piring Didit kini  sudah penuh bak gunung Sibayak. Didit sampai kepayahan membawa piring itu. Lauknya sampai ada yang meluber ke luar piringnya.
      Mata Didit kini menatap ke arah aneka juice dan makanan penutup. Hhm, tidak sabar pula Didit ingin menyantap minuman itu. Didit pun mulai bergerak ke  arah  minuman itu. Tapi Didit tidak bisa, pasalnya tangannya kepayahan memegang piring dan gelas. Didit pun berpikir sejenak dan ia melihat meja di sudut ruangan.
      Didit menuju meja itu dan meletakkan piringnya yang telah penuh itu di atas meja. Didit kemudian balik lagi ke arah tempat panganan. Ia ambil juice sirsak kesukaanya. Tidak ketinggalan pula aneka panganan penutup dan buah jeruk besar dua buah. Didit benar-benar tidak sabar ingin menyantapnya. Sambil berjalan menuju meja, Didit menyeruput juice sirsaknya sampai separuh. Didit berhenti sejenak melihat juice-nya yang sudah habis separuh. Didit pun berbalik arah menuju tempat minum dan kembali memenuhi gelas besarnya itu  dengan sirsak lagi.
      Sekarang Didit sudah berhadapan dengan makanan dan minuman super banyak di hadapannya. Tidak perlu menunggu lama Didit pun menyantapnya. Satu demi satu mulai dilahapnya. Setelah habis dimakan, berkali-kali Didit kembali ke sumber makanan. Menyantapnya, mengambil, makan, begitu terus berulang-ulang. Untunglah Ummi yang tadi asik berbincang dengan tuan rumah diberitahu Ira atas tingkah Didit sang Kakak. Didit pun ditegur oleh Ummi atas tingkahnya itu. Tapi Bu Endang sebagai tuan rumah malah meminta Ummi membiarkan saja perilaku Didit.
      “Bu, sudah biarkan saja. Namanya juga anak-anak, lagi pula makananya kan memang banyak kan? Sudah Didit sana ambil lagi yang Didit suka”.
      “Terima kasih Tante!” didit seperti mendapat pembelaan. Didit pun ingin kembali ke arah makanan itu, padahal perutnya kini benar-benar sudah kepayahan.
      Untunglah Ummi cepat bertindak dengan meminta pamit kepada Bu Endang.
      “Bu Endang, kami pamit dulu ya. Sudah malam!”
      “Lho kok cepat sekali, baru Didit mau ambil makanan lagi? Kok malah sudah mau pulang?”
      “Iya…kasihan Abi-nya di rumah sendirian. Tadi mau ke sini belum pulang soalnya!” Ummi memberi alasan yang membuat Ummi manggut-manggut.
      Didit, Ira, dan Ummi pun pulang. Ummi tidak henti-henti menasihati Didit  selama perjalanan pulang. Ummi menasihati kalau tidak sopan kalau mengambil makanan terlalu banyak, apalagi di rumah orang. Nasihat itu tidak henti-henti ke luar dari mulut Ummi. Sayangnya segala nasihat Ummi tidak masuk ke hati Didit. Pasalnya selama Ummi memberi nasihat, Didit sudah tertidur pulas di jok belakang mobil mereka.
      Didit ini sudah berada di kamarnya. Didit kini benar-benar kepayahan karena perutnya super kenyang. Hingga pada tengah malam Didit pun terbangun dari tidurnya.  Perutnya sakit, sakiit sekali. Ia pergi ke kamar mandi untuk BAB, tapi BAB-nya ternyata tidak bias. Didit meringis kesakitan. Karena saking tidak tahannya, Didit pun membangunkan orang tuanya.
      Malam itu juga Didit dibawa ke rumah sakit karena perutnya sudah sangat tegang karena kekenyangan. Didit juga muntah-muntah, banyak sekali. Dokter menyarankan supaya Didit diopname satu malam saja di rumah sakit. Besok kalau sudah sembuh Didit sudah boleh pulang kembali.
      Ummi memandang Didit yang terbaring di tempat tidur. Ummi tersenyum.
      “Gimana Didit, masih mau tambah makanannya lagi sayang?”
      “Ih..Ummi. Pokoknya Didit ampun Mi, Didit gak mau makan banyak lagi!”
Ummi hanya terseyum melihat tingkah Didit anak kesayangannya itu.

Ingat ya adik-adik !
Adik-adik, kalau makan dan minum sekadarnya saja ya. Rasulullah menganjurkan makanlah kalau kita lapar dan berhentilah makan sebelum kenyang. Allah SWT juga menghendaki  ciptaan-Nya untuk tidak berlebihan dalam segala urusan. Berarti makan pun kita tidak boleh berlebihan. Gimana, benar kan?  
Wassalam, sekian dulu ya!

==================================================================================
Tentang Penulis
Kak Novianti adalah seorang penulis cerita pendek dan cerita anak. Beberapa bukunya yang sudah terbit antara lain antologi Purnama di Atas Kapuas (Depdiknas, Jakarta, 2003), Denting (DKM, Medan 2006, Proyek (Depdiknas, Jakarta, 2008), Penyesalan Otan (Depdiknas, Jakarta, 2009). Selain itu juga menulis pada beberapa jurnal seperti Jurnal Logat USU, Jurnal Medan Makna Balai Bahasa Sumut, dan Jurnal Tifa Universitas Muslim Nusantara, serta beberapa surat kabar di Indonesia. Saat ini sedang kuliah pascasarjana di UMN Al Washliyah Sumut. Aktif sebagai guru Bahasa Indonesia di SMA 2 Binjai. Selain itu mengajar pula di STKIP Budidaya Binjai, Sumatera Utara, Indonesia sekaligus mengasuh Komunitas Membaca, Menulis, dan Sastra Rumput Hijau. Email yang bisa dihubungi: novianursha@gmail.com

Tulisan ini sudah pernah dimuat pada Koran Nuansa Indonesia  di Jepang Edisi Agustus 2013

Jumat, 27 Januari 2012

Cerita Anak-Tanita Liasna


Belajar dari Doni
Oleh: Tanita Liasna

            Agung sampai di rumah sekitar pukul satu siang. Jarak antara sekolah dan rumahnya cukup dekat. Seperti biasa Agung pulang dengan Doni, teman sekelasnya. Rumah Agung bersebelahan dengan Doni. Mereka selalu pergi dan pulang sekolah bersama.
            Agung dan Doni bersahabat. Kegemaran mereka sama, yaitu bermain bola. Mereka juga sama-sama malas makan. Sepulang sekolah, setelah berganti pakaian Agung tidak  langsung makan siang. Dia malah duduk di teras, menunggu kedatangan Doni. Setelah itu mereka akan bersama-sama pergi ke lapangan untuk bermain bola.
Begitulah kebiasaan Agung dan Doni setiap hari. Setiap pulang sekolah mereka tidak mau makan siang. Pagi hari pun mereka tidak mau disuruh sarapan. Setiap disuruh makan ada saja alasan mereka. Kadang mengatakan sayurnya tidak enak, ikannya tidak enak, atau mengatakan sudah kenyang jajan di sekolah. Sedangkan malam hari mereka mau makan, jika dengan lauk telur mata sapi atau mie instan.
Kebiasaan mereka membuat Ibu dan Ayah mereka bingung. Kedua orang tua Agung dan Doni berusaha menasehati mereka. Bahkan Kakak Agung sudah berupaya menunjukkan pada mereka sebuah buku yang menjelaskan dampak negatif dari sifat mereka  yang malas makan. Tapi mereka tidak mau mendengar.
Pagi itu Agung menunggu Doni untuk berangkat sekolah bersama. Tapi Doni tidak keluar dari rumahnya. Agung pun mendatangi rumah Doni.
“Assalamualaikum,” ucap Agung di depan pintu.
“Waalaikumsalam,” ucap seseorang dari dalam rumah.
“Doni mana Bik,” tanya Agung pada pembantu di rumah Doni.
“Oh, Agung tidak tahu ya Doni masuk rumah sakit tadi malam. Perutnya sakit. Coba tanya Ibu kamu. Semalam Ibu kamu ikut mengantar. Mungkin kamu sudah tidur makanya tidak tahu,” jelas Bik Inah pada Agung.
“Terimakasih ya Bik,” ucap Agung sambil beranjak pergi.
Lalu Agung bertanya kepada Ibu perihal Doni yang dirawat di rumah sakit. Ibu mengatakan Doni sakit karena malas makan.
Lonceng berbunyi pertanda pelajaran akan segera dimulai. Setelah pelajaran pertama usai, guru kelas Agung menyampaikan sebuah pengumuman. “Perhatian semuanya,” kata Pak Salman.
“Ada berita duka datang dari teman kalian Doni. Tadi pagi Bapak mendengar kabar dari orang tua Doni bahwa sekarang Doni sedang di rawat di rumah sakit,” jelas Pak Salman di depan kelas.
“Jadi, siang nanti sepulang sekolah Bapak mengajak kalian untuk menjenguk Doni di rumah sakit Djolham Binjai. Bagaimana, kalian mau?” tanya Pak Salman meminta persetujuan murid-muridnya.
“Mau Pak,” ucap anak-anak serentak.
Sepulang sekolah Agung dan teman-temannya menjenguk Doni di rumah sakit. Doni kelihatan pucat dan lemas. Agung sangat sedih melihat keadaan Doni.
“Apa yang menyebabkan kamu masuk rumah sakita, Don?” tanya Pak Salman.
“Kata dokter saya sakit asam lambung, Pak. Karena malas makan,” kata Doni dengan suara hampir tak terdengar.
“Makanya kalian jangan malas makan seperti Doni ya,” kata Pak Salman kepada murid-muridnya.
Setelah menjenguk Doni semua anak-anak pulang ke rumah. Di perjalanan Agung terus memikirkan penyakit yang diderita Doni.
Sampai di rumah Ibu sudah menunggu Agung di depan pintu. “Dari mana Gung?” tanya Ibu pada Agung.
“Rumah sakit, Bu. Menjenguk Doni,” jawab Agung lalu masuk ke kamar.
Setelah ganti pakaian, Agung menemui Ibu yang sedang menanam bunga. Ibu Agung sangat suka menanam bunga. Segala jenis bunga tumbuh subur di halaman rumahnya.
“Bu,” panggil Agung.
“Ya Sayang, ada apa?” tanya Ibu sambil terus menanam bunga.
“Sakit asam lambung itu apa, Bu?” tanya Agung.
“Asam lambung adalah sebuah penyakit akibat naiknya gas di dalam perut. Biasanya menyerang orang-orang yang malas makan,” jawab Ibu.
“Kenapa Sayang, kok tanya soal itu sama Ibu?” tanya Ibu.
“Tidak apa-apa Bu,” jawab Agung. Dia lalu pergi ke teras. Duduk di sana.
“Gung, kamu udah makan?” tanya Ibu.
Agung tak menjawab, hanya menggeleng.
“Makan Sayang,” kata Ibu.
Dia hanya tersenyum. Lalu masuk ke dalam rumah. Ibu heran melihat sikap Agung.
Malamnya Agung memakan apa yang dimasak oleh Ibunya. Mengambil nasi dan lauk pauk tanpa disuruh. Padahal biasanya disuruh saja Agung sulit untuk makan.
Besok paginya pun Agung memakan sarapan yang dibuat oleh Ibunya. Begitu seterusnya selama seminggu penuh, Agung sarapan, makan siang, dan malam tanpa disuruh. Dan tak ada sama sekali keluhan yang keluar dari mulutnya.
Semua ulah Agung tentu saja membuat Ayah, Ibu, dan Kakaknya heran. Hanya Ibu yang sedikit bisa menebak apa penyebab Agung mengalami perubahan seperti itu.
“Bu, kira-kira Agung kenapa ya, kok dia sekarang tidak malas makan lagi?” tanya Ayah pada Ibu.
“Coba Ayah tanya. Ibu rasa karena Doni,” jawab Ibu.
Ketika sedang makan malam bersama, Ayah bertanya tentang perubahan Agung. Agung mengatakan dia takut sakit seperti Doni. Makanya sejak itu dia berjanji untuk tidak malas makan lagi agar tidak sakit seperti Doni.

Rumah Cerita, 24 Januari 2012

Sabtu, 08 Oktober 2011

Cerpen

LUNDO SI KUCING TETANGGA
Oleh: Muhammad Rain


“Mau apa mama?” Adik bertanya pada mamanya.
Si Lundo sedang tidur dibalut selimut, kucing tetangga kami yang paling sering membasmi tikus di komplek perumahan ini begitu pulas meringkuk hangat di bawah kursi beranda. Beberapa malam sudah Lundo ngeronda, tikus banyak sudah yang mati diterkam Lundo. Lundo pahlawan lorong sini.
“Ini nak, sepiring nasi buat Lundo ini kamu letakkan dekat dia tidur ya!”. Adik mengiyakan dan dengan senang hati memenuhi permintaan mama.
Mama rupanya menyiapkan hadiah lagi buat Lundo. Lundo si jago memberantas musuh kami. Tikus-tikus itu harus diberi pelajaran agar tidak sesuka nafsunya melahap apa saja di rumah kami. Banyak sudah korban lahapan tikus. Di antaranya uang simpanan mama di laci lemari, puluhan lembar uang seratus ribu mama rusak digigit dan sobek parah oleh perbuatan tikus-tikus tanah itu. Buku-buku pelajaran adik banyak pula yang terburai, bolong dan kotor akibat dijadikan sebagai sarang para tikus itu.

Lundo merespon langsung kehadiran tulang-tulang ikan di atas sepiring nasi yang telah disuguhkan adik. Adik menatap Lundo makan begitu lahapnya. Sesekali adik mengelus pungguk dan kepala Lundo. Lundo melahap saja tak perduli. Adik menyuguhkan susu dari setengah gelas sisa sarapan paginya. Susu yang sengaja disisakan adik tersebutpun dalam waktu tak lama lenyap diminum Lundo. Si kucing tetangga itu amat kelelahan dan lapar barangkali? Betapa tidak, semalaman bekerja memenuhi tugas utamanya di dunia sebagai kucing yang wajib membasmi tikus. Tikus makin ramai saja tapi.

Adik membeberkan kisah Lundo pada beberapa temannya. Begitu semangatnya ia bercerita, seolah Lundo adalah pahlawan sekelas superman atau spiderman. Yach meskipun Lundo bukan makhluk super, tetapi keberanian sang kucing tetangga itu dalam membasmi kejahatan para tikus patut dijadikan teladan. Itulah yang membuat adik senantiasa mengulang-ngulang kisah Lundo dari satu teman ke teman yang lain, walhasil sang kucing yang bernama Lundo itu telah dianggap menjadi pahlawan oleh hampir seluruh isi teman sekelas adik. Lundo telah menjadi anutan bahwa membasmi kejahatan adalah hal baik lagi dianjurkan, terutama agar kehidupan di rumah menjadi tenang dan aman. Terjauh dari petaka serangan hama jahat yang bahkan jika dibiarkan akan semakin menjadi-jadi.

Di musim hujan begini, Lundo makin gesit saja bekerja ketika malam tiba. Para tikus tak mau anak-anak mereka mati kelaparan dan tergenang air tanah yang mulai melembabkan hunian mereka yang hangat sebelum musim hujan datang. Akibat perubahan cuaca, para tikus sibuk mengungsi dengan mencari wilayah baru yang lebih menjamin kesejahteraan hidup mereka. Beberapa rombongan tikus ada yang menginap di lemari gudang rumah kami. Nah di sinilah tempat ronda Lundo paling favorit.

Kami sendiri tidak memiliki kucing peliharaan. Dulu memang ada dibawa pulang ayah dari pasar. Kami memberi nama kucing pemberian ayah sebagai Lundo Junior. Tapi malang nasib si kucing yang kelihatannya dari turunan lemah dan manja itu. Lundo Junior mati akibat bergelut dengan kucing tetangga kami yang lain. Lundo Senior tak bisa menolongnya, saat itu ia sedang terpulas tidur, kelelahan akibat ronda rutin.

Lundo si kucing tetangga memang hebat, Pak Burhan pemiliknya mengandalkan ia untuk menjaga rumah ketika pekerjaan di luar kota menuntut Pak Burhan harus sering meninggalkan rumah. Sisa-sisa makanan dari restoran mewah sering sekali menjadi oleh-oleh buat si Lundo. Dasar Lundo yang selain rajin membantai tikus rupanya ia doyan makan. Akibatnya Lundo menjadi makin gemuk akibat kebanyakan makan. Akhir-akhir ini kinerja Lundo menurun. Papa menjadi lebih repot jadinya, biasanya saat malam larut, papa hanya memantau sejenak ke dapur, ke lemari gudang dan ke bagian-bagian tertentu rumah kami yang sering menjadi sarang para tikus. Papa menjadi kurang tidur, badannya sakit-sakitan akibat masuk angin dan kurang istirahat. Seminggu ini serangan tikus di tengah rasa malas yang makin menjadi-jadi pada Lundo membuat kompleks kami terancam kembali oleh tingkah laku tikus-tikus yang makin ganas dan kejam.

Lundo sepertinya minta pensiun. Pak Burhan mengamuk dan memukul Lundo akibat terkejut melihat seisi lemari berisi berkas-berkas penting pekerjaan kantornya hancur berantakan dibantai tikus-tikus yang selama ini takut pada Lundo. Mereka balas dendam terhadap rumah hunian Lundo. Selama ini di rumah itu, anak-anak para tikus sering tewas dan banyak yang celaka dan pincang. Para tikus mengambil kesempatan saat malam larut dan seharusnya Lundo bekerja menjaga rumah malah pulas mendengkur. Lundo menjadi ompong dan letoy. Ia yang selama ini menjadi pahlawan para tetangga tak mampu lagi menunjukkan kinerja pengawalan lingkungan di seputar perumahan ini secara maksimal. Riwayat kepahlawanan Lundo sudah habis. Adik menjadi sedih dan mulai kehilangan bahan pembicaraan. Jika ada teman-teman sekelasnya yang bertanya tentang kabar si Lundo, adik berusaha mengalihkan pembicaraan, misalnya dengan bertanya tugas-tugas sekolah dan lebih sering menghindari pembicaraan dengan tema Lundo si kucing tetangga yang selama ini malah menjadi deadline dan berita utama yang membumbui kata-kata adik saat bergaul di kantin dan saat bermain di rumah tetangga.


Lundo ditemukan mati nyemplung parit besar di seberang persimpangan komplek perumahan kami. Ia telah memutuskan mengakhiri kisahnya dengan memilih mati. Mungkin rasa pedih akibat siksaan Pak Burhan membuat ia makin jarang pulang. Lalu ia memilih pergi dari rumah itu dengan tujuan menghindari siksaan tuannya yang selama ini sangat menyayanginya, memanjakannya dan bahkan membangga-banggakan dia. Adik melihat Lundo menyeberang jalan, saat itu kendaraan sedang ramai-ramainya melintas di perempatan komplek perumahan kami. Lundo digiling truk pasir yang sulit menghindar saat Lundo menyeberang, akibat beban berat muatan pasir di bak truk itu. Lundo mati mengenaskan. Adik hanya diam dan seketika itu tak tega melihat tubuh Lundo hancur terburai. Dengan sisa keberanian dan kesedihannya, adik mengangkat sisa-sisa tubuh Lundo dan menyemplungkannya ke parit besar di perempatan rumah kami. Biarlah Lundo menjadi kenangan baik saja bagi seluruh yang mengenalnya. Sedang kematian yang mengenaskan cukuplah adik yang tahu. Siang itu adik mulai malas makan.


Langsa-Indonesia. 4 Oktober 2011

Senin, 15 Agustus 2011

Puisi Sahabat untuk 'Rumah Cerita'

POTRET MASA KECIL, Muhrain.

oleh Muhammad Rain pada 13 Agustus 2011 jam 20:19
: Saripuddin Lubis (Sastrawan Sumut)


ajarkan kami melukis murni matahari menyemai pagi
sawah ladang tergambar di putih bidang
potret masa kecil berbenih subur cinta ibu dan ayah
bermain di lapangnya pengharapan
sambil belajar mengeja masa depan

ingatkan lagi musim layangan
mengulur benang meninggi hendak menyentuh langit biru
atau ingatkan kami lagi pada kelereng dan beradu gasing
kapal-kapal kertas berlayar menyusuri sungai dan kali
saat ikan-ikan masih ramai membenih
saat pulang bermain bola
nyemplung nyebur bermacam gaya
berenang-renang kini masa kecil itu
mengisi daya bersitkan ulang harapan yang belum sampai

para ibu mulai sibuk mengasap tungku
kue-kue lebaran sedang diracik
anak-anak tetangga yang sebaya bermain lilin
menyalakan alam raya penuh hangat rasa bersaudara
pekerjaan belum ada
sekolah belum tamat
lilitan tanggung jawab masih renggang

wahai teruslah ingatkan betapa mulia masa kecil
saat pulang mengaji menyusuri sawah dan lembah
mendayung sepeda penuh tekad
agar kelak dewasa kokoh agama

biarlah masa menjawab segala ikhtiar
masa kecil masa abadi
berkelana mendapati hikmah
cerah kembali segala gundah.


Langsa-Indonesia, 13 Agustus 2011.